Sabtu, 11 Juni 2011

MENATA HATI


 
MENATA HATI

Logika berfikir yang tidak didasarkan atas keimanan dan keislaman, sekalipun telah menjadi hal yang lumrah, umum dalam masyarakat; pada sejatinya merupakan bom waktu yang akan menjerumuskan manusia kelembah kesengsaraan, baik didunia maupun diakhirat. Sejatinya pendapat manusia itu hanyalah kebenaran sesaat, karena disebabkan oleh keterbatasan kemampuan, pengalaman dan pengetahuan manusia. Firman Allah.Q.S Albaqoroh ayat 216:“…Bisa jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagi kamu dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagi kamu. Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui”
Sayid Quthb dalam tafsirnya “fidhilalil quran” menerangkan bahwa sesungguhnya fitrah manusia itu; tidak menginginkan perintah/kewajiban/keadaan yang sulit,sehingga tidak ada orang yang mengetahui bahwa dibalik sesuatu perintah/kewajiban/keadaan yang tidak disukai, terdapat kebaikan misalnya; kewajiban membayar Zakat, melakukan amar makruf nahi mungkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran) dan dibalik sesuatu yang disukai terdapat keburukan,misalnya Judi,mabuk,selingkuh dll, Demikianlah Islam mendidik umatnya; tidak hanya semata-mata memberi tugas/perintah/kewajiban, akan tetapi dibalik perintah/kewajiban/keadaan yang tidak menyenangkan manusia dan nampak kesulitannya, terdapat kebaikan bagi umat manusia yaitu; kebenaran, kebaikan dan kesalehan
 Tafsir Al misbah tulisan Prof DR. HM.Quroish shihab, menjelaskan bahwa kata “asa” pada Q.S Albaqoroh ayat 216 tersebut, diartikan “bisa jadi” mengandung arti ketidak pastian, ini bukan dari sisi pengetahuan Allah, karena Allah dzat yang Maha Mengetahui, sehingga tidak ada yang tidak pasti bagi-Nya. Ketidak pastian tersebut berada pada diri manusia; artinya ketika umat manusia menghadapi ketetapan perintah/kewajiban/keadaan/ kejadian yang harus dijalani, sedangkan perintah/kewajiban/keadaan/kejadian tersebut tidak menyenangkan, (belum bisa diterima oleh akal dan fitrah manusia), maka ditanamkan lah rasa optimisme dalam hati, jiwa dan perasaannya untuk menyakini; “bisa jadi” dibalik ketetapan, perintah, kewajiban, keadaan dan kejadiaan tersebut ada kebaikan. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang sedang menikmati kebahagiaan hidup hendaknya tidak boleh lupa diri; bergembira, bersenang-senang secara berlebihan, karena “bisa jadi” dibalik yang disenangi tersebut ada madhorat (keburukan)  
Ayat ini mengingatkan manusia agar berserah diri kepada Allah SWT sekaligus mendorong untuk hidup seimbang, tetap bersemangat, optimis, apapun keadaan yang dialami baik dalam keadaan susah, sedih maupun lainya dan sebaliknya tidak boleh larut dalam kegembiraan yang menjadikan lupa diri bahwa hidup itu berada dalam pengawasan Allah SWT. Sungguh ini logika berfikir yang sangat mengagumkan dalam mendidik manusia agar mengetahui hal-hal yang “sejatinya” tentang; Perintah, Kewajiban, Keadaan dan Kejadian, sehingga manusia bisa menikmati hidup, bisa bersyukur, qonaah, bahagia didunia dan akhirat Amin.




TAUSIYAH
HANYA ALLAH SANG PENYEMBUH
Oleh; DR. HM. Suyudi, MAg
(Bagian Kedua Habis)
 Hal senada diungkapkan Jamaluddin al Qasimi dalam tafsirnya menguraikan bahwa ayat ini menggambarkan tata susila seorang hamba Allah kepada Penciptanya. Kata as Syifa’ disandarkan kepada Allah dan yang berhak menyembuhkan penyakit hanya Allah semata. Sedang al Maradl didasarkan kepada manusia karena disebabkan dosa-dosa telah melanggar norma-norma kesehatan yang telah ditentukan Allah SWT.
Dengan demikian bagi muslim yang beriman, ayat di atas sangatlah jelas bahwa kesembuhan datangnya hanya dari Allah. Meski sudah berperilaku sehat, apabila Allah menghendaki ia sakit maka seseorang akan menderita kesakitan. Apabila sesorang ditakdirkan oleh Allah untuk sehat maka sehatlah ia.
Pendapat-pendapat di atas diperkuat Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir dari Nabi SAW bersabda: Setiap penyakit pasti ada obatnya, apabila obatnya digunakan untuk mengobatinya, maka dapat memperoleh kesembuhan atas izin Allah SWT ( HR Muslim ). Bahkan Allah SWT tidak akan menurunkan penyakit kecuali juga menurunkan obatnya, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA dari Nabi SAW bersabda: Allah SWT tidak menurunkan sakit, kecuali juga menurunkan obatnya ( HR Bukhari ). Juga diperkuat ayat-ayat lain dalam Al Quran seperti kisah tentang Nabi Ayub yang ditimpa serangan penyakit pada hampir seluruh organ tubuhnya. Bagian tubuh yang tersisa dari serangan penyakit ketika itu adalah lidah dan hatinya. Pada saat terkena apenyakit, Nabi Ayub pun kehilangan anak-anaknya dan harta benda yang dimilikinya sehingga menambah berat penderitaannya. Dengan lidah dan hati yang tersisa, seakan Allah SWT memberi jalan kepada Nabi Ayub untuk berzikir dengan lidahnya dan berdoa dalam hati memohon doa agar diridoi untuk hidup sehat kembali. Akhirnya, dikisahkan Nabi Ayub pun sembuh seperti sediakala dan harta beserta keluarganya kembali.
Kisah Nabi Ayub dalam Al Quran terdapat pada Surah Al Anbiyaa’ [21]: 83-84,
Artinya : “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: (Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang, Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah”.
Perlu ditegaskan bahwa penyembuhan yang dimaksud bukan berarti upaya manusia untuk memperoleh kesembuhan tidak diperlukan lagi. Dalam masalah ini, banyak hadist Nabi Muhammad yang menganjurkan umatnya untuk berobat agar sembuh dari penyakit yang dideritanya. Ungkapan pada ayat di atas dimaksudkan untuk menyatakan bahwa sebab dari segala sebab adalah Allah SWT.Rasulullah SAW bersabda.Artinya: hadastana Husain hadastana Ahmad bin Munii’ hadastana Marwan bin Syujaa’ hadastana Salim al Afthos dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas RA. Berkata : “Obat/kesembuhan itu (antara lain) dalam tiga (cara pengobatan): minum madu, berbekam dan dengan kay, namun aku melarang umatku dari kay (besi panas)”. Rasululah Shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda: “Obat/ kesembuhan itu (antara lain) dalam tiga (cara pengobatan): minum madu, berbekam dan dengan kay, namun aku melarang umatku dari kay (besi panas)”(HR. Al-Bukhari no. 5680)



TANGGAL : 8 MEI 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar