Sabtu, 11 Juni 2011

Mata Pencaharian dalam Penghidupan




Mata Pencaharian dalam Penghidupan
Islam sangat menghargai orang yang mau bekerja, sehingga Islam menempatkan orang yang mencari nafkah/bekerja lebih utama dibandingkan dengan orang yang meminta-minta. Akan tetapi orang yang mengabdikan diri untuk kemaslahatan Muslimin (Pejabat Publik) lebih utama jika ia tidak berdagang, karena ia akan dicukupi dari harta maslahat atau lainnya, sebagai mana para sahabat sepakat menyarankan kepada Sahabat Abu Bakar RA untuk berhenti berdagang ketika beliau menjadi kholifah (Kepala Pemerintahan) hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pedagang yang adil, jujur dan amanah kedudukannya disejajarkan dengan para syuhada’ Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Pedagang yang jujur akan dikumpulkan dihari qiyamat bersama orang-orang yang benar dan syuhada”, ini menunjukkan bahwa Pedagang/pengusaha kaum profesional memiliki peran yang sangat menentukan, sehingga kedudukannya disejajarkan dengan para syuhada’ yaitu; Orang yang wafat karena berperang membela Islam.  
Adalah kenyataan bahwa mata pencaharian dalam penghidupan, sangat banyak antara lain; Petani, Pedagang, Peternak, Notaris, Pegawai Negeri Sipil/Polisi/Tentara, Konstraktor, Politisi dll. Semuanya menghasilkan uang atau mal/harta. Secara umum DR Yusuf Qardawi menyimpulkan bahwa Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua: Pertama, Pekerjaan yang dikerjakan sendiri tidak bergantung kepada pihak lain, yaitu pekerjaan yang didasarkan atas kemampuan, ketrampilan dan pemikirannya. Penghasilan dari pekerjaan ini disebut penghasilan professional misalnya; Kontraktor, Advokat, Seniman, Notaries dll. Kedua, Pekerjaan yang dikerjakan untuk kepentingan pihak lain (Pemerintah, Perusahaan maupun perorangan) dengan pekerjaan tersebut ia memperoleh imbalan, Penghasilan dari pekerjaan ini berupa; gaji, upah atau honorarium, seperti; PNS,Pegawai Swasta dll
Pertanyaannya sekarang adalah; Bagaimana pandangan Islam terhadap mata pencaharian yang mengahsilkan uang atau mal/harta, apakah wajib membayar zakat? karena Islam menga jarkan bahwa dalam harta umat islam, ada hak untuk orang miskin, Q.S. Addzariat. 19 “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian, artinya orang miskin yang tidak meminta”.
Mata pencaharian yang menghasilkan uang atau mal/harta yang dilakukan dengan tidak melanggar ajaran Islam, aturan perundangan yang berlaku (hukum positif)  adalah sah dan halal sedangkan kewajiban zakatnya berlaku persyartan mal/harta yang wajib dizakati yaitu: (1) Hak milik penuh (2) Sudah mencapai nisob; batas minimal kekayaan menurut syariat Islam, yaitu senilai 85 gram emas (3) Dimiliki selama satu tahun (4) Bebas dari hutang (5) Kelebihan dari kebutuhan Pokok (normal). Adapun besarnya zakat yang harus dikeluarkan/dibayarkan adalah 2,5% setiap tahun.

 
Berbahagialah kaum Pekerja, Pengusaha, Profesional yang berpenghasilan, mendapatkan uang atau mal/harta akan tetapi tidak dininabubukkan oleh melimpahnya uang atau mal/harta, sehingga tidak lupa dzikir kepada Allah SWT.Q.S. An Nur 37: ”Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah,mendirikan shalat dan membayar zakat, Mereka takut pada suatu hari yang (dihari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”. Semoga Allah SWT meridhoi mata Pencaharian, Pekerjaan dan Profesi kita. Amin. 



 
TAUSIYAH
HANYA ALLAH SANG PENYEMBUH
Oleh; DR. HM. Suyudi, MAg
(Bagian Pertama)
Tidak terhitung jumlahnya orang yang mempercayai bahwa dokter dan obatlah yang bisa menyembuhkan penyakit. Bahkan, tidak sedikit orang yang fanatik berobat hanya ke dokter tertentu, karena mereka meyakini dokter tersebutlah yang bisa mengobati penyakitnya. Mereka rela antre berjam-jam hanya agar bisa berobat kepada dokter tersebut. Sebaiknya, kalau dokter tersebut tidak masuk, mereka lebih memilih batal berobat diklinik atau rumah sakit tersebut. Banyak orang yang percaya bahwa obat tertentu sangat manjur dan menyembuhkan, sekalipun harganya sangat mahal tetap di beli. Padahal pengobatan itu bisa dimulai dari diri sendiri dan dengan biaya yang murah.
Begitulah fakta dan fenomena yang terjadi dimasyarakat. Mereka cenderung “mendewakan” dokter dan “menuhankan” obat-obatan. Padahal, berapa banyak dokter ahli jantung yang justru terkena penyakit jantung? Berapa banyak dokter ahli ginjal yang justru terkena penyakit ginjal? Berapa banyak dokter ahli yang dirinya, suami/istrinya, atau anak-anaknya terkena penyakit yang merupakan keahliannya sebagai dokter? Berapa banyak anak dokter yang meninggal dunia karena suatu penyakit, padahal fasilitas pengobatannya begitu lengkap, dan ayahnya telah berhasil menyembuhkan ratusan atau ribuan pasien? Sebaliknya, ada orang sakit parah yang proses pengobatannya sederhana saja, namun bisa sembuh. Ada orang yang divonis oleh dokter umurnya hanya tinggal tiga bulan lagi, namun ternyata bisa sembuh dan 30 tahun kemudian masih hidup.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sesungguhnya bukanlah dokter dan obat-obatan yang menyembuhkan suatu penyakit. Ada Dzat Yang Mahakuasa dan Maha Penyembuh. Dialah Allah SWT. Dokter hanyalah alat atau perantara untuk kesembuhan sang pasien. Allah berfirman dalam al Quran surah Assyu’araa ayat 80 Artinya : “ Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku,” 
Secara bahasa “yasfin” berarti menyembukan aku. Subyek dari kata ini adalah Allah. Dengan demikian, term di atas maknanya adalah Allah yang menyembuhkan aku. Ini merupakan isyarat bahwa yang memberikan kesembuhan itu adalah Allah. Selain itu, ungkapan ini juga merupakan isyarat bahwa sumber segala anugerah adalah Allah. Indikasi sakit, sembuh dan sehat dalam bahasa Al Quran, secara berurutan dapat didasarkan pada kata Al Maradl, As Syifa’. Kata maradl dan syifa’ secara berdampingan seperti diungkapkan dalam QS.Al-Syu’ara’ ayat 80 di atas. Apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku. Menurut Ali Ashubuni dalam shofwatut Tafasir, Pada ayat ini tampak dengan jelas bahwa term sakit-maradl disandarkan kepada manusia, sedangkan syifa’ maupun kesembuhan yang diberikan kepada manusia disandarkan pada Allah SWT. Kandungan makna demikian ini juga mengantarkan pada sebuah pemahaman bahwa setiap ada penyakit pasti ada obatnya, dan apabila obatnya itu sesuai penyakitnya akan memperoleh kesembuhan, dan kesembuhannya itu adalah izin dari Allah SWT.
BERSAMBUNG

TANGGAL 7 APRIL 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar